Mengenai Saya

Jogjakarta, Jogjakarta, Indonesia
Saya adalah saya,, seorang muslim yang semua dasar hidup berlandaskan Islam, sya adalah seorang pengkhianat demokrasi, n saya adalah pencaci maki sosialis komunis. Saya adalah seorang anak manusia yang lahir dan mendapat taklif hukum sbagai seorang muslim. dan saya adalah orang yang siap mati kapan saja demi kemuliaan Islam dan kaum muslimin, salam REVOLUSI!!

Senin, 25 Oktober 2010

SBY....... SBY

Ismail Yusanto: Indonesia Butuh Perubahan yang Mendasar

Ust. Ismail Yusanto (Jubir HTI)Genap setahun pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono-Boediono, masyarakat menumpahkan rasa kekecewaannya. Berbagai elemen masyarakat turun ke jalan menuntut SBY-Boed melepaskan jabatannya. Para pengamat menyatakan pemerintahan SBY-Boed gagal. Benarkah gagal? Bukankah pemerintah menyatakan telah berhasil menurunkan angka kemiskinan dan pengangguran serta menaikan GNP? Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas wartawan mediaumat.com mewawancarai Jurubicara Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) Ust Muhammad Ismail Yusanto. Berikut petikannya.
Presiden SBY menyatakan angka kemiskinan dan pengangguran menurun dan Produk Nasional Bruto (Gross National Product, GNP) meningkat. Tanggapan Anda?
Ya, bisa saja SBY mengklaim begitu tapi kan itu hanya didasarkan pada data statistik yang publik juga tidak tahu diperoleh dari mana, ukurannya apa, ketika dikatakan turun turunnya dari mana, turun dari angka berapa, apakah penurunannya itu menggunakan tolak ukur yang sama atau tidak.
Jadi sebenarnya klaim itu bisa dilakukan oleh siapa pun juga bukan hanya SBY.  Tetapi secara faktual, terlepas turun atau tidak, kemiskinan itu masih sama saja di sekitar kita. Mudah terlihat di depan kiri, kanan, dan belakang kita. Artinya, klaim kemiskinan itu turun tidak ada makna apa-apa ketika fakta itu berbicara lebih nyata bahwa rakyat itu memang menderita karena berbagai kesulitan yang mereka hadapi.
Seakan seperti tidak ada negara?
Kalau kita percaya bahwa kita punya negara dengan pemerintahan SBY itu diadakan dengan sejumlah tujuan yakni menjaga: harta, kehormatan, akidah, keamanan, akal, negara. Maka ternyata negara ini bermasalah.
Untuk akidah misalnya. Jika negara tidak berusaha keras untuk menjaga akidah masyarakatnya maka akidah masyarakat akan tergerus. Namun kita lihat ternyata negara kita ini alih-alih menjaga akidah umat malah meggerus akidah umat. Di tambah lagi, adanya elemen-elemen yang merusak akidah umat seperti Ahmadiyah, kelompok liberal, dan kelompok sesat lainnya juga dibiarkan oleh pemerintah.
Negara menjaga akal umat dengan proses pendidikan tetapi pendidikan yang ada sekarang ini justru merusak akal umat karena pendidikannya malah membentuk kepribadian yang sekular. Di tambah lagi dengan beredarnya minuman keras, narkoba itu menunjukkan perlindungan terhadap akal itu tidak jalan.
Dengan tidak adanya perlindungan terhadap keamanan oleh negara orang sangat mudah terancam baik hartanya, nyawanya, kehormatannya. Lihat saja itu kriminalisasi sangat tinggi, bukan hanya pembunuhan, yang marak sekarang ini  malah sudah sampai tingkat yang mengerikan yakni mutilasi. Juga perlindungan terhadap negara pun lemah. Intervensi asing, melalui laut, udara, perundang-undangan.
Berarti SBY gagal mengelola negara?
Saya sudah sering kali menyatakan bahwa negara ini bukan saja gagal tetapi juga sesat. Sesat ini dalam terminologi yang  ada dalam Al-Qur’an (Surat Al-Ahzab Ayat 36, red.) di situ ada ayat yang menyatakan  barangsiapa yang maksiat kepada Allah dan Rasul-Nya, maka dia sungguh telah sesat dengan kesesatan yang nyata.
Nah  maksiat itu meninggalkan yang wajib menghalalkan yang haram atau mengharamkan yang wajib menghalalkan yang haram. Itu sesat dan negara yang sesat,  orang yang sesat itu  pasti gagal , karena tidak ada kesesatan yang berhasil, kalaulah berhasil, maka keberhasilan itu adalah semu. Kegagalannya mengandung unsur kegagalan yang sangat besar. Jadi kalau ditanya apa faktor gagalnya, ya.. kemaksiatan itu/kesesatan itu jadi faktor utama, yakni ketika pemimpin itu mengatur negara ini tidak berdasarkan ketentuan Allah dan Rasul-Nya.
Lantas permasalahannya pemerintah tidak menganggap maksiat itu sebagai maksiat, itu bagaimana?
Ini terkait dengan sudut pandang. Sudut pandang apa yang digunakan. Seperti pelacur dianggap sebagai pekerja seks komersial, jadi menurut sudut pandang sekular mereka itu bekerja. Sementara itukan sebenarnya pelacuran. Satu hal yang sama ternyata bisa dinilai secara berbeda, karena sudut pandangnya berbeda.
Jadi selama menggunakan sudut pandang sekular tentu kemudian seolah-olah tidak ada masalah tapi kan faktanya ada masalah kemiskinan, kerusakan moral, kriminalisme terus meningkat, ada ketidakadilan, itu fakta.
Fakta itu akan bisa dijelaskan bila menggunakan sudut pandang yang berbeda, bukan sudut pandang sekular lagi. Jadi kalau kita melihat dari sudut pandang sekular terus, kita tidak akan menemukan jawaban atas semua fakta itu.  Paling-paling hanya bisa mengatakan, “oh karena aturan tidak ditegakkan” , “oh karena pemimpinnya kurang tegas”, hanya itu-itu saja.
Tapi kalau dari sudut pandang yang saya sebut, jadi ketahuan ini terjadi karena kemaksiatan atau pelanggaran-pelanggaran terhadap aturan dari Sang Pencipta. Dari sudut pandang ini kita menjadi tahu, “oh iya betul, ini melanggar, itu melanggar”.
Mengapa harus pakai aturan dari Sang Pencipta?
Kan tadi sudah disampaikan kita ini bernegara karena mempunyai tujuan. Tujuan tersebut hanya akan bisa dicapai bila kita mengatur negara ini dengan cara yang benar. Cara yang benar itu berarti menggunakan aturan yang benar. Nah aturan yang benar itu yang bagaimana? Itu kan yang menjadi masalahnya? Aturan yang benar tentu saja aturan yang datang dari Sang Maha Benar, itulah Allah SWT.
Orang kan ingin adil, aturannya kan harus adil. Jadi sebelum pemimpinnya adil, aturan yang akan diterapkannya pun harus aturan yang adil. Sebab tidak ada gunanya kalau pemimpinnya berusaha adil tetapi aturannya sendiri sudah tidak adil.
Bagaimana kita bisa mendapatkan suatu masyarakat yang adil kalau sistemnya atau aturannya sendiri sudah tidak adil. Nah aturan yang adil itu adalah aturan yang datang dari Allah SWT Yang Maha Baik, Maha Tahu, dan Maha Adil.
Jadi intinya telah terjadi kegagalan yang sistemik dan sangat mendasar pada negara ini. Oleh karena itu, bila kita menginginkan sebuah perbaikan harus ada perubahan. Perubahan itu ya perubahan yang mendasar, yakni perubahan rezim dan perubahan sistem. Jadi tidak hanya cukup perubahan rezim saja.
Kalau kita lihat dari tuntutan-tuntutan yang adakan hanya turunkan SBY dan Boediono. Tetapi setelah turun, dan bolak-balik diganti pun, pastilah sama saja bila tidak terjadi perubahan yang mendasar pada sistemnya.
Jadi perubahan baru akan terjadi ketika ada perubahan dari sistem yang sesat ini kepada sistem yang diturunkan oleh Allah SWT yaitu Khilafah Islam yang menerapkan seluruh aturan dari -Nya Yang Maha Tahu, Maha Baik dan Maha Adil.

Apbn yang adil

Meramu APBN Syariah

Bagaimana wajah APBN Indonesia kalau dibuat dengan paradigma syariah? Dari sisi penerimaan apakah pajak akan terus menjadi pilar APBN? Lalu dari sisi pengeluaran apakah pembayaran pokok dan cicilan hutang masih akan mendominasi di samping pos subsidi?
Untuk dapat menjawab persoalan ini ada tiga pendekatan yang harus dilakukan.
Pertama: yang dihitung dulu adalah pengeluaran berdasarkan asumsi-asumsi kebutuhan dari yang menurut syariah paling vital dan urgen ke yang hanya bersifat pelengkap. Untuk menghitung pos pengeluaran digunakan rasio-rasio ideal berdasarkan data wilayah dan kependudukan, proyeksi siklus jangka panjang dan menengah, serta harga pasar rata-rata saat ini. Dalam kitab Nizham al-Iqtishadi fi al-Islam karya Imam Taqiyyudin an-Nabhani dinyatakan bahwa pengeluaran Kas Negara (Baitul Mal) ditetapkan berdasarkan enam kaidah:
(1) Harta yang menjadi kas tersendiri Baitul Mal, yaitu harta zakat. Harta ini hanya dibelanjakan untuk delapan ashnaf kalau memang kasnya terisi. Bila di Baitul Mal harta zakat sudah habis maka tidak ada seorang pun dari delapan ashnaf itu yang berhak mendapatkannya, dan tidak akan dicarikan pinjaman untuk itu.
(2) Pembelanjaan yang sifatnya wajib, yaitu manakala terjadi kekurangan (fakir miskin atau ibnu sabil) atau untuk melaksanakan jihad. Ini bersifat pasti; bila tidak ada dan dikhawatirkan akan terjadi kerusakan maka negara dapat meminjam harta dan setelah itu dilunasi, dan bila perlu dapat menarik pajak.
(3) Pembelanjaan yang sifatnya kompensasi, yakni bagi orang-orang yang telah memberikan jasa, misalnya gaji para tentara, pegawai negeri, hakim, guru dan sebagainya. Ini juga bersifat pasti.
(4) Pembelanjaan karena unsur keterpaksaan, semisal ada bencana alam atau serangan musuh. Ini juga bersifat pasti.
(5) Pembelanjaan untuk suatu kemaslahatan, bukan untuk kompensasi, namun sifatnya vital, karena bila tidak ada, umat akan mengalami kesulitan, seperti pembangunan infrastruktur. Ini juga bersifat pasti.
(6) Pembelanjaan untuk suatu kemaslahatan, hanya saja bila tidak ada, umat tidak sampai menderita, misalnya pembangunan fasilitas hiburan, atau adanya fasilitas umum sekunder ketika fasilitas yang lama masih memadai.
Adapun data dasar wilayah dan kependudukan yang digunakan antara lain:
Lalu untuk rasio-rasio kebutuhan digunakan asumsi-asumsi yang cukup ideal sebagai berikut:
Jumlah penduduk
230.000.000
Luas wilayah darat (Km2)
1.900.000
Luas wilayah laut (Km2)
5.800.000
Panjang garis batas (Km)
15.000
Jumlah satuan administrasi level Provinsi
33
Jumlah satuan administrasi level Kabupaten
480
Jumlah satuan administrasi level Kecamatan
6.000
Jumlah satuan administrasi level Desa/Kelurahan
70.000
Pos Santunan Fakir Miskin
Asumsi prosentase penduduk miskin (fakir miskin)
50%
Asumsi kebutuhan nutrisi perorang perhari (gram)
600
Asumi harga pangan per-kg
Rp 10.000
Pos Pendidikan
Jumlah siswa sekolah (usia 5-19 th)
60.000.000
Rasio guru:siswa = 1:
20
Rasio sekolah:siswa= 1:
300
Asumsi rata-rata gaji guru perbulan
Rp. 5.000.000
Asumsi biaya operasional sekolah perbulan (ke-TU-an, cleaning, buku, dll)
Rp 25.000.000
Rasio lulusan SMA ke Pendidikan Tinggi = 1:
10
Rasio dosen:mahasiswa = 1:
10
Rasio perguruan tinggi : mahasiswa = 1:
1.000
Asumsi biaya operasional perguruan tinggi perbulan (ke-TU-an, cleaning, buku, lab dll)
Rp 250.000.000
Pos Kesehatan
Rasio dokter:penduduk = 1:
1.000
Rasio rumah sakit:penduduk = 1:
10.000
Rasio rumah sakit: desa = 1:
3,0
Asumsi gaji dokter perbulan
Rp 7.500.000
Asumsi operasional tiap rumah sakit perbulan
Rp 225.000.000
Pos Pertahanan & Keamanan
Rasio tentara dengan garis perbatasan 1 km =
25
Rasio polisi dengan jumlah penduduk = 1:
1.000
Rasio kapal penjaga perbatasan 1 kapal = [km]
25
Rasio pesawat militer untuk menjaga area
1 pesawat = [km2]
40.000
Asumsi gaji tentara/polisi/bulan
Rp 7.500.000
Asumsi operasional markas tentara/bulan
(hanya ada satu di tiap provinsi)
Rp 1.500.000.000
Asumsi operasional markas polisi/bulan
(ada di tiap kecamatan)
Rp 105.000.000
Pos Pemerintahan & Keadilan
Rasio aparat administrasi pemerintahan : penduduk yang dibutuhkan = 1:
1.000
Rasio aparat peradilan : penduduk = 1:
1.000
Asumsi rata-rata gaji aparat pemerintahan & peradilan
Rp 7.500.000
Asumsi rata-rata operasional kantor pemerintahan & peradilan/bulan
Rp 33.000.000
Pos Infrastruktur & Fasilitas Umum Vital
Siklus perbaikan menyeluruh transportasi setiap
10 tahun
Siklus perbaikan menyeluruh fasum lainnya
20 tahun
Infrastruktur data meliputi aktivitas riset, sensus, pemetaan, pembangunan jejaring ICT
20 tahun
Infrastruktur energi meliputi pembangunan instalasi migas, pipa, PLTGU, PLTN, dan jaringan listrik
20 tahun
Infrastuktur pangan meliputi pembangunan pabrik pupuk, irigasi, dan pengolahan pasca panen
20 tahun
Infrastruktur pertahanan meliputi kendaraan tempur angkatan darat, laut dan udara berikut alutsista
20 tahun
Pos Cadangan Bencana terhadap APBN 5%
Pos Cadangan Maslahat non Vital 2%
Dari semua pos ini kemudian dihitung besaran-besaran makro dan menghasilkan angka dalam Tabel APBN.
Kedua: pos penerimaan disusun berdasarkan pos-pos yang ditetapkan syariah. Dalam kitab Al-Amwal fi ad-Dawlah al-Khilafah Abdul Qadim Zallum menyatakan bahwa pos pendapatan negara terdiri dari tiga bagian:
(1) Bagian Fai dan Kharaj. Penerimaan ini meliputi:
a. Seksi Ghanimah, mencakup anfal, fa’i dan khumus.
b. Seksi Kharaj.
c. Seksi Status tanah.
d. Seksi Jizyah
e. Seksi Fai
f. Seksi Pajak (dhoribah)
(2) Bagian Kepemilikan Umum, yaitu pengelolaan sumberdaya alam yang hakikatnya milik umum:
a. Seksi minyak dan gas.
b. Seksi listrik.
c. Seksi pertambangan.
d. Seksi laut, sungai, perairan dan mata air.
e. Seksi hutan dan padang rumput.
f. Seksi aset produktif yang dikuasai negara, misalnya yang berasal dari wakaf.
Kepemilikan umum harus dikembalikan kepada rakyat, baik berupa harta yang dibagikan langsung maupun berupa pelayanan negara yang dibiayai dari penjualannya, baik di dalam negeri maupun ekspor.
(3) Bagian sedekah, yang terdiri dari sedekah wajib, yaitu:
a. Zakat harta dan perdagangan yang berupa uang (atau emas/perak).
b. Zakat pertanian dan buah-buahan.
c. Zakat ternak.
Untuk Indonesia, dari ketiga bagian ini, harta yang paling dapat diandalkan untuk APBN adalah kepemilikan umum. Pada pos inilah dilakukan beberapa perhitungan dengan sejumlah asumsi, yang antara lain bergantung pada harga minyak dunia dan nilai tukar mata uang dunia.
Data yang ada saat ini:
Produksi minyak di Indonesia adalah sekitar 950.000 barel perhari (bpd). Bila asumsi harga minyak adalah US$ 65/barel dan nilai tukar rupiah Rp 9000/US$ maka nilai minyak ini hanya sekitar Rp 202 Triliun. Bila biaya produksi dan distribusi minyak ditaksir hanya berkisar 10% dari nilai tersebut, maka nett profit-nya masih di atas Rp 182 Triliun. Namun, keuntungan ini hanya tercapai bila seluruh hasil minyak dijual dengan harga pasar (tanpa subsidi, yakni US$ 72/barel) dan baru hasilnya yang dikembalikan ke umum melalui Baitul Mal. Indonesia bahkan harus menjadi net-importer minyak, karena kebutuhan minyak perhari 1,2 juta barel, akibat politik energi selama ini yang terlalu tertumpu pada minyak, termasuk lambatnya pembangunan jaringan kereta api berikut elektrifikasinya.
Produksi gas (LNG) adalah sekitar 5,6 juta barel minyak perhari, namun harganya di pasar dunia hanya 25% harga minyak, jadi nilainya sekitar Rp 297 Triliun atau nett profit-nya sekitar Rp 268 Triliun.
Produksi batubara adalah sekitar 2 juta barel minyak perhari, dengan harga di pasar dunia sekitar 50% harga minyak, jadi nilainya sekitar Rp 212 Triliun, atau nett profit-nya sekitar Rp 191 Triliun.
Produksi listrik tidak signifikan kecuali bila dilakukan pembangkitan listrik dari energi terbarukan (air, angin dan geothermal) atau nuklir. Energi listrik seperti ini biasanya impas dikonsumsi sendiri. Di Indonesia, karena tidak ada integrasi antara Pertamina, PGN, PT Batubara Bukit Asam dan PLN, maka PLN rugi puluhan Triliun.
Produksi pertambangan terutama emas seperti Freeport atau Newmont hanya dapat ditaksir dari setoran pajak yang jumlahnya memang aduhai. Bila kita percaya kebenaran nilai pajak Freeport yang Rp 6 Triliun setahun, dan ini baru 20% dari nett profit, itu artinya nett profit-nya adalah Rp 30 Triliun pertahun. Ini masuk akal karena dari sumber lain didapat informasi bahwa produksi emas di Freeport adalah sekitar 200 kg emas murni perhari. Secara kasar, bersama perusahaan tambang mineral logam lainnya, yakni emas/Newmont juga timah, bauxit, besin juga kapur, pasir, dan lain-lain nett profit sektor pertambangan adalah minimal Rp 50 Triliun pertahun.
Dengan demikian dari sektor pertambangan minyak, gas, batubara dan mineral logam didapat penerimaan sekitar Rp 691 Triliun. Pada saat ini, dengan pola konsesi dan transfer pricing (terutama untuk gas, batubara dan emas) maka penerimaan yang dilaporkan BUMN maupun swasta ke negara jauh lebih rendah dari ini. Yang harus diingat adalah bahwa sektor pertambangan tidak dapat diperbarui. Meski teknologi dapat memperpanjang usianya, tetapi suatu hari pasti akan habis juga.
Untuk produksi laut karena sifatnya terutama dilakukan secara bebas oleh nelayan swasta baik kecil maupun besar, tentu agak sulit untuk memasukkannya sebagai penerimaan negara. Menurut Rokhmin Dahuri, nilai potensi lestari laut Indonesia baik hayati, non hayati, maupun wisata adalah sekitar US$ 82 Miliar atau Rp 738 Triliun. Bila ada BUMN kelautan yang ikut bermain di sini dengan ceruk 10% maka ini sudah sekitar Rp 73 Triliun.
Yang paling menarik adalah produksi hutan. Luas hutan kita adalah 100 juta hektar, dan untuk mempertahankan agar lestari dengan siklus 20 tahun, maka setiap tahun hanya 5% tanamannya yang diambil. Bila dalam 1 hektar hutan, hitungan minimalisnya ada 400 pohon, itu berarti setiap tahun hanya 20 pohon perhektar yang ditebang. Kalau kayu pohon berusia 20 tahun itu nilai pasarnya Rp 2 juta dan nett profit-nya Rp 1 juta, maka nilai ekonomis dari hutan kita adalah 100 juta hektar x 20 pohon perhektar x Rp 1 juta perpohon = Rp 2000 Triliun. Fantastis. Namun, tentu saja ini tidak mudah didapat, karena saat ini lebih dari separuh hutan kita telah rusak oleh illegal logging. Harga kayu yang legal pun telah dimainkan dengan transfer pricing untuk menghemat pajak. Namun, Rp 1000 Triliun juga masih sangat besar. Kalau kita kelola dengan baik, masih banyak hasil hutan lain yang bernilai ekonomis tinggi, misalnya untuk obat-obatan.
Ketiga: standar dari Dinar – namun juga natura. Pada saat simulasi perhitungan APBN ini, angka yang dipakai adalah Rupiah. Ini sekadar untuk memudahkan mendapatkan gambaran berapa nilai tersebut, juga untuk membandingkan dengan APBN Republik Indonesia saat ini. Namun ke depan, kita harus mulai menggunakan standar emas yaitu Dinar, karena dengan itu APBN ini tak akan lekang oleh zaman, sementara APBN dalam Rupiah akan senantiasa terkoreksi oleh inflasi. Pada Agustus 2010, kurs Dinar yang merupakan emas 22 karat seberat 4,25 gram adalah sekitar Rp 1.500.000 per Dinar.
Selain itu, sebenarnya dalam APBN Syariah ada pendapatan dan harta milik negara yang diakuntasikan dengan natura, karena memang tak semua penerimaan atau pengeluaran harus berupa uang. Misalnya, zakat juga tidak harus berupa uang, tetapi dapat juga tanaman atau ternak. Demikian juga jizyah, bahkan dapat pula dibayarkan dengan pakaian. Oleh sebab itu, angka-angka yang digambarkan di sini hanya untuk standardisasi nilai saja, yang memang sangat tepat bila menggunakan Dinar.
APBN Syariah juga tidak harus selalu dihabiskan pada tahun anggaran berjalan. Karena itu, kolom penerimaan tidak harus balance dengan kolom pengeluaran. Boleh saja di suatu masa surplus dan di mana yang lain minus karena ada bencana, paceklik atau perang, sehingga negara perlu menunda sebagian pengeluaran atau meminjam atau menarik pajak.
Yang jelas, dengan anggaran 666 juta Dinar atau sekitar Rp 999 Triliun (pada pos pengeluaran) sebenarnya sudah dapat tercukupi dengan hasil hutan yang lestari itu saja. Bagian-bagian seperti fai dan kharaj (termasuk di dalamnya kemungkinan pajak), juga sedekah (yang terkait zakat) bahkan belum perlu diperhitungkan.
Distribusi dalam pengeluaran juga cukup bagus. Pos yang terbesar adalah sektor pendidikan (termasuk dakwah), pengentasan kemiskinan dan infrastruktur. Di dalam sektor infrastruktur ini sudah tertanam anggaran riset sains dan teknologi yang cukup besar, yakni hampir 3.5% APBN. Ini semua akan sangat cukup untuk menggerakkan ekonomi sehingga bahkan setelah beberapa tahun, angka kemiskinan sudah sangat rendah. Dengan begitu, pos pengentasan kemiskinan bisa tidak berarti. Asumsi yang digunakan dengan angka ini adalah setiap orang miskin mendapat asupan 600 gram nutrisi perhari senilai Rp 10.000/kg. Ini artinya setiap orang miskin mendapat Rp 180.000,- perbulan! Bandingkan dengan BLT selama ini yang hanya Rp 100.000 per KK perbulan.
APBN
Pos Penerimaan (dalam juta Dinar)
Bagian Fai & Kharaj (tidak diperhitungkan)
0
Bagian Kepemilikan Umum
Minyak
121,5
Gas
178,9
Batubara
127,5
Emas & Mineral Logam lainnya
33,5
BUMN Kelautan
48,9
Hasil hutan
666,0
Bagian Sedekah/Zakat (tak diperhitungkan)
0
JUMLAH PENERIMAAN
1176,3
Pos Pengeluaran (juta Dinar)
Pengentasan Kemiskinan 50% penduduk
167,9
Kompensasi
Layanan Hankam dan Jihad
41,7
Layanan Pemerintahan dan Peradilan
30,8
Layanan Pendidikan dan Dakwah
180,0
Layanan Kesehatan
55,8
Maslahat Vital (Infrastruktur dan Fasum)
143,1
Cadangan Kebencanaan dan Perang
33,3
Maslahat Lain-lain
13,2
JUMLAH PENGELUARAN
666
Analisis
Desain APBN ini memang sangat berbeda dengan APBN Indonesia saat ini. APBN Indonesia saat ini memakai pendekatan sektoral dan institusional. Dokumen rinci APBN hingga level satuan kerja adalah sebuah monster yang sangat tebal meliputi ratusan ribu halaman. Walhasil, rasio-rasio anggaran terhadap target-target (output, outcome) pelayanan masyarakat kurang dapat diketahui dengan cepat, sementara peluang markup atau penganggaran ganda sangat besar. Di sisi lain, prinsip Dirjen Anggaran Kementerian Keuangan adalah, mereka yang tidak dapat menyerap anggarannya akan dihukum dengan menurunkan anggaran tahun berikutnya. Tidak dilakukan pembedaan antara yang anggarannya kurang terserap karena efisiensi, atau salah perencanaan, atau faktor eksternal (gangguan alam, masalah sosial, kondisi ekonomi global, kendala aturan yang berlaku, dsb).
Pada hitungan APBN syariah ini, surplus di jumlah penerimaan dapat digunakan untuk melunasi seluruh hutang Indonesia secepatnya, untuk kemudian kita melesat menuju kesejahteraan dengan syariah.
Tentu saja, bila Khilafah berdiri di negeri Muslim yang berbeda kondisinya dengan Indonesia, maka APBN-nya bisa tampak sangat berbeda. Kalau Khilafah berdiri di Irak yang memiliki cadangan migas sangat besar dan merupakan tanah kharajiyah, maka bagian tersebut mesti diisi, sementara hasil hutan atau laut nyaris nol. Sebaliknya, bila Khilafah berdiri di Bangladesh yang nyaris tidak punya sumberdaya alam baik migas ataupun hutan, maka bagian fai dan kharaj (apalagi pajak) dan bagian sedekah/zakat mesti dielaborasi dengan intensif

First

Aslmkum,,, hem,, pertama kali ngblog ni.... gmana ya rasanya,, pengen coba posting2 sesuatu..

hem,, blog ni ane buat for dakwah ajh,, smoga tuangan2 pemikiran ane yang sederhana bisa membuat kesadaran pemikiran buat kita semua,, semoga bisa menimbulkan budaya berfikir n budaya menimbang sesuatu dengan islam.


Bismillah..............


Salam REVOLUSI!!!!!!!